Jl. Krakatau Nomor 76 Kencong Tlp. 0336-321276 Hp.081357992437 Kode Pos 68187 J E M B E R
Minggu, 06 Maret 2016
Jumat, 04 Maret 2016
AKREDITASI
TUJUAN
Secara umum, Akreditasi PNF bertujuan untuk memberikan Penilaian (assessment) secara obyektif, transparan, dan berkelanjutan terhadap kelayakan suatu program dan satuan PNF berdasarkan atas kriteria-kriteria yang telah ditetapkan.
Secara umum, Akreditasi PNF bertujuan untuk memberikan Penilaian (assessment) secara obyektif, transparan, dan berkelanjutan terhadap kelayakan suatu program dan satuan PNF berdasarkan atas kriteria-kriteria yang telah ditetapkan.
MANFAAT AKREDITASI
Pelaksanaan akreditasi terhadap program dan satuan PNF akan memberi manfaat, antara lain:
- Menyempurnakan visi, misi, tujuan, sasaran, strategi, dari program dan satuan PNF;
- Meningkatkan mutu program dan satuan PNF;
- memanfaatkan semua informasi hasil akreditasi sebagai umpan balik, dalam upaya memberdayakan dan mengembangkan kinerja program dan satuan PNF;
- mendorong satuan PNF agar selalu berupaya meningkatkan mutu program dan lembaganya secara bertahap, terencana, dan kompetitif di tingkat kabupaten/kota, provinsi, regional, nasional, bahkan internasional;
- memperoleh informasi yang handal dan akurat, dalam rangka masyarakat pembelajar PNF memperoleh dukungan berupa pembinaan dari pemerintah dan apresiasi dari masyarakat
Masa Berlaku Status Akreditasi Info
Setiap satuan pendidikan dan programnya yang telah memperoleh status terakreditasi selanjutnya harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
- Masa berlaku status akreditasi setiap Program/Satuan PNF adalah 5 (lima) tahun dan setelah itu dapat mengajukan permohonan kembali untuk diakreditasi, permohonan re-Akreditasi diajukan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya masa berlaku status akreditasi.
- Program/Satuan PNF yang hingga 3 (tiga) bulan sejak berakhirnya masa status akreditasi belum mengajukan permohonan untuk diakreditasi kembali, maka status akreditasinya dinyatakan berakhir.
- Program/Satuan PNF yang masa berlaku status akreditasinya sudah berakhir dan telah mengajukan permohonan untuk diakreditasi, namun belum dilakukan proses penilaian akreditasi oleh BAN-PNF, maka status akreditasinya dinyatakan masih tetap berlaku.
Mekanisme & Tahapan Akreditasi BAN-PNF
Contoh Surat Permohonan Akreditasi di sini
Instrumen Akreditasi di sini
Perangkat Tambahan Instrumen Satuan Pendidikan Kerjasama PAUD (SPK-PAUD) di sini
Sistem Penilaian Akreditasi BAN PAUD DAN PNF Baca di sini
Contoh Surat pernyataan di sini
SPPD di sini
Sistem Penilaian Akreditasi BAN PAUD DAN PNF Baca di sini
Contoh Surat pernyataan di sini
SPPD di sini
KEBIJAKAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI TAHUN 2016
KEBIJAKAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
TAHUN 2016
oleh Ella Yulaelawa , M.A., Ph.D
Direktur Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini
Tahun 2016 merupakan k awal untuk mencapai tujuan ke-empat dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals), yaitu pendidikan yang berkualitas. Target dari tujuan SDGs yang ke-empat ini disebut Agenda Pendidikan 2030. Agenda Pendidikan 2030 ini mempunya visi kemanusiaan dalam membangun pendidikan yang berkelanjutan dan berkualitas untuk memenuhi hak azasi manusia, keadilan, dan perlindungan dalam menjunjung harkat dan martabat yang dilandasi dengan keberagaman budaya, tanggung jawab dan akuntabilitas bersama. Dalam mewujudkan perdamaian dan pembangunan berkelanjutan. Target Agenda Pendidikan 2030 untuk PAUD adalah memas kan seluruh anak laki-laki dan perempuan memperoleh akses terhadap perkembangan, perawatan dan pendidikan pra-SD (PAUD) yang bermutu untuk menjamin kesiapan memasuki pendidikan dasar. Di Indonesia, capaian Satu Desa minimal satu PAUD adalah 72,29 persen atau 58.174 Desa di seluruh pelosok Indonesia telah memiliki paling dak satu lembaga PAUD . Capaian ini merupakan suatu hal yang menggembirakan, sekaligus menunjukkan bahwa PAUD telah menjadi Sebuah Gerakan Masyarakat. Rapat Koordinasi Nasional Pelaksanaan Kebijakan dan Program Direktorat Jenderal PAUD dan Dikmas tahun 2016 3 APK PAUD telah menunjukkan persentase yang cukup baik yaitu 70,1 persen, walaupun masih ada yang di bawah rata-rata APK Nasional. Saat ini terdapat 190. 225 (Dapodik, 2016) yang hampir seluruhnya diselenggarakan oleh masyarakat. Untuk itu pemerintah mengalokasikan BOP PAUD sebesar Rp.600.000,-(enam ratus ribu rupiah)/ peserta didik/tahun dengan prioritas anak usia 4-6 tahun. Dalam hal terdapat kelebihan anggaran pemerintah kabupaten/kota dapat mengalokkasikan kepada satuan PAUD atau Lembaga yang melayani peserta didik di bawah usia 4 tahun. Satuan PAUD atau Lembaga yang layak mendapatkan alokasi BOP PAUD adalah yang memiliki paling sedikit 12 peserta didik. Satuan PAUD atau Lembaga menerima paling banyak adalah Rp. 36.000.000,- ( ga puluh enam juta rupiah) per tahun.
Lengkapnya dapat di unduh di sini
oleh Ella Yulaelawa , M.A., Ph.D
Direktur Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini
Tahun 2016 merupakan k awal untuk mencapai tujuan ke-empat dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals), yaitu pendidikan yang berkualitas. Target dari tujuan SDGs yang ke-empat ini disebut Agenda Pendidikan 2030. Agenda Pendidikan 2030 ini mempunya visi kemanusiaan dalam membangun pendidikan yang berkelanjutan dan berkualitas untuk memenuhi hak azasi manusia, keadilan, dan perlindungan dalam menjunjung harkat dan martabat yang dilandasi dengan keberagaman budaya, tanggung jawab dan akuntabilitas bersama. Dalam mewujudkan perdamaian dan pembangunan berkelanjutan. Target Agenda Pendidikan 2030 untuk PAUD adalah memas kan seluruh anak laki-laki dan perempuan memperoleh akses terhadap perkembangan, perawatan dan pendidikan pra-SD (PAUD) yang bermutu untuk menjamin kesiapan memasuki pendidikan dasar. Di Indonesia, capaian Satu Desa minimal satu PAUD adalah 72,29 persen atau 58.174 Desa di seluruh pelosok Indonesia telah memiliki paling dak satu lembaga PAUD . Capaian ini merupakan suatu hal yang menggembirakan, sekaligus menunjukkan bahwa PAUD telah menjadi Sebuah Gerakan Masyarakat. Rapat Koordinasi Nasional Pelaksanaan Kebijakan dan Program Direktorat Jenderal PAUD dan Dikmas tahun 2016 3 APK PAUD telah menunjukkan persentase yang cukup baik yaitu 70,1 persen, walaupun masih ada yang di bawah rata-rata APK Nasional. Saat ini terdapat 190. 225 (Dapodik, 2016) yang hampir seluruhnya diselenggarakan oleh masyarakat. Untuk itu pemerintah mengalokasikan BOP PAUD sebesar Rp.600.000,-(enam ratus ribu rupiah)/ peserta didik/tahun dengan prioritas anak usia 4-6 tahun. Dalam hal terdapat kelebihan anggaran pemerintah kabupaten/kota dapat mengalokkasikan kepada satuan PAUD atau Lembaga yang melayani peserta didik di bawah usia 4 tahun. Satuan PAUD atau Lembaga yang layak mendapatkan alokasi BOP PAUD adalah yang memiliki paling sedikit 12 peserta didik. Satuan PAUD atau Lembaga menerima paling banyak adalah Rp. 36.000.000,- ( ga puluh enam juta rupiah) per tahun.
Lengkapnya dapat di unduh di sini
Kamis, 03 Maret 2016
MENGEMBANGKAN BAKAT ANAK USIA DINI
Bagaimana Mengembangkan Bakat Anak Sejak Dini
Sejauh mana bakat anak dapat terwujud, tergantung pada beberapa faktor pribadi, seperti minat, motivasi, nilai, kepribadian, dan faktor lingkungan seperti pengalaman dan kesempatan pendidikan.
Sebagai orangtua, kita tentu memiliki harapan yang besar pada anak dalam berbagai aspek kehidupannya. Termasuk misalnya, keberhasilan di sekolah maupun luar sekolah. Beberapa orangtua memisahkan kedua hal tersebut, meskipun sejatinya keduanya sama-sama berkontribusi pada masa depan dan arah karier anak nanti.
Keberhasilan anak dalam hal apapun, termasuk dalam pengembangan bakat anak, tentu tidak lepas dari bagaimana kita sebagai orangtua membekali anak dalam menemukan fokus belajarnya dan menekuni bidang pilihannya. Namun kita juga seringkali dilanda kebingungan dalam memfasilitasi belajar anak. Pertanyaan seperti “Apakah saya harus mengikutkan anak dalam kursus?” atau keraguan semacam “IQ anak saya hanya rata-rata saja, tidak seperti teman-temannya,” seringkali menghantui benak kita.
Demi keberhasilan anak nanti, kita rela melakukan apapun – bahkan secara tidak sadar melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak disukai anak. Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan bakat anak sejak dini:
Orangtua sendiri perlu menunjukkan minat terhadap bidang kegiatan tertentu, mempunyai hobi, senang membaca, dan menyediakan bahan bacaan yang cukup dan beragam.
Menciptakan lingkungan rumah yang baik. Tempat orangtua berperan serta dalam kegaitan intelektual, atau dalam permainan yang meningkatkan daya pikir anak.
Menyempatkan diri untuk mendengarkan dan menjawab pertanyaan anak dengan sungguh-sungguh. Kalau belum dapat menjawab pertanyaan anak, sebaiknya mengajak anak itu untuk mencari jawaban bersama-sama.
Mengajak anak mengunjungi museum, perpustakaan, tempat bersejarah, pusat kebudayaan atau kesenian. Beri mereka kesempatan bertemu dengan orang lain yang mempunyai keahlian atau keterampilan tertentu.
Memberi kesempatan kepada anak agar melakukan sesuatu sendiri, untuk memupuk kemandirian, kepercayaan diri dan rasa tanggung jawab.
Pendiri Intrinsic Institute, Dr. Brian Davidson, adalah salah satu orang yang menaruh perhatian pada tema ini. Sebagai seorang guru pula, ia tertarik untuk menjawab pertanyaan tentang apa bekal penting yang harus dimiliki murid-muridnya untuk berhasil dalam studinya. Alih-alih fokus pada faktor-faktor yang secara umum kita kenal dapat memicu keberhasilan anak, seperti IQ dan kemampuan kognitif, ia justru mengungkapkan bahwa banyak kemampuan non-kognitif yang patut menjadi bekal anak. Misalnya, ia menunjukkan hasil penelitian Angela Duckworth dan Martin Seligman bahwa disiplin diri dua kali lebih baik ketimbang IQ dalam memprediksi keberhasilan akademik seorang anak.
Ini seperti banyak kasus yang sering kita dengar – anaknya tidak terlihat pintar, namun karena dia tekun, sang anak lalu jadi terampil di bidang bakat yang ditekuni.
Apa sih kemampuan non-kognitif yang dimaksud oleh Dr. Brian? Yang dimaksud adalah berbagai bekal yang berkontribusi dalam pengembangan bakat anak, yang sulit diukur dalam berbagai tes, termasuk tes IQ. Ketekunan belajar, pantang menyerah, growth mindset yang akhir-akhir ini kita sering dengar, kemampuan untuk bangkit dari kegagalan, jelas lebih sulit diukur dalam berbagai tes kecerdasan. Namun tes kecerdasan maupun ujian lebih sering dijadikan patokan dalam menentukan “nasib” anak. Paradigma ini pula yang menyebabkan kita seringkali lebih fokus pada hasil ketimbang proses belajar.
Padahal, proses belajar dan pengembangan bakat anak seringkali akrab dengan tantangan, hambatan, dan kegagalan. Namun sistem persekolahan misalnya, membuat kita malu melihat seorang anak tidak naik kelas, meskipun hal tersebut mungkin menjadi pembelajaran yang berharga bagi anak. Itu sebabnya, selain membekali diri dengan konten belajar – membaca, berhitung, menulis, memasak, atau bakat apapun yang ditekuni anak – anak perlu belajar dan membekali dirinya dengan berbagai kemampuan non-kognitif yang telah disebutkan di atas.
Misalnya, anak yang sering juara lomba melukis, lalu kemudian tidak mendapat juara di lomba berikutnya, mungkin merasa kecewa. Hidup memang bukan hanya perlombaan, namun perlombaan juga menjadi bagian dari hidup dan pengembangan bakat anak. Dalam kejadian ini, ayah ibu bisa mengobrol dengan anak tentang bagaimana bangkit dari kegagalan. Atau sebaliknya, anak yang tidak pernah dapat juara lomba melukis pun bisa belajar bagaimana menumbuhkan sikap pantang menyerah. Tidak dapat juara bukan berarti anak harus berhenti melukis, bukan?
Namun perlu diingat bahwa orangtua harus dapat membedakan antara tindakan “memberi perhatian dan kesempatan mewujudkan bakat” dengan tindakan “memaksa anak untuk berprestasi.” Bakat seorang anak bukan sesuatu yang siap jadi, tetapi diperoleh dari, dan ikut dibentuk oleh lingkungan.
Sumber dikutip dari Pendidikankarakter.com
MENCETAK ANAK CERDAS
Mencetak Anak Cerdas
Anak cerdas tentu dambaan setiap orang, sebab kecerdasan merupakan modal tak ternilai bagi si anak untuk mengarungi kehidupan di hadapannya. Beruntung kecerdasan yang baik ternyata bukan harga mati, melainkan dapat diupayakan.
Dr. Bernard Devlin dari Fakultas Kedokteran Universitas Pittsburg, AS, memperkirakan faktor genetik cuma memiliki peranan sebesar 48% dalam membentuk IQ anak. Sisanya adalah faktor lingkungan, termasuk ketika si anak masih dalam kandungan.
Untuk menjelaskan peran genetika dalam pembentukan IQ anak, seorang pakar lain di bidang genetika dan psikologi dari Universitas Minnesota, juga di AS, bernama Matt McGue, mencontohkan, pada keluarga kerajaan yang memiliki gen elit, keturunannya belum tentu akan memiliki gen elit. ”Keluarga bangsawan yang memiliki IQ tinggi umumnya hanya sampai generasi kedua atau ketiga. Generasi berikutnya belum diketahui secara pasti, karena mungkin saja hilang, meski dapat muncul kembali pada generasi kedelapan atau berikutnya”, ungkap McGue. ”Orang tua yang memiliki IQ tinggi pun bukan jaminan dapat menghasilkan anak ber-IQ tinggi pula.” Ini menunjukkan genetika bukan satu-satunya faktor penentu tingkat kecerdasan anak.
Faktor lingkungan, dalam banyak hal, justru memberi andil besar dalam kecerdasan seorang anak. Yang dimaksud tak lain adalah upaya memberi ”iklim” tumbuh kembang sebaik mungkin sejak si anak masih dalam kandungan agar kecerdasannya dapat berkembang optimal. Dengan gizi dan perawatan yang baik misalnya, si Polan bisa cerdas. Atau dengan menjaga kesehatan secara baik dan menghindari racun tubuh selagi ibunya mengandung dia, si Putri dapat memiliki intelegensia baik. Begitu pula dengan memberikan kondisi psikologis yang mendukung, angka IQ si Tole lebih tinggi dari teman sebayanya. Gizi, perawatan, dan lingkungan psikologis itulah faktor lingkungan penentu kecerdasan anak.
Kisah Helen dan Gladys, sepasang bayi kembar, bisa menjadi salah satu buktinya. Pada usia 18 bulan mereka dirawat secara terpisah. Helen hidup dan dibesarkan dalam satu keluarga bahagia dengan lingkungan yang hidup dan dinamis. Sedangkan Gladys dibesarkan di daerah gersang dalam lingkungan ”miskin” rangsangan intelektual. Ternyata saat dilakukan pengukuran, Helen memiliki angka IQ 116 dan berhasil meraih gelar sarjana dalam bidang Bahasa Inggris. Sebaliknya Gladys terpaksa putus sekolah lantaran sakit-sakitan dan IQ-nya 7 angka di bawah saudara kembarnya.
Gizi dan Perilaku Ibu
Dr. Devlin menemukan bukti bahwa keadaan dalam kandungan juga sangat berpengaruh pada pembentukan kecerdasan. ”Ada otak substansial yang tumbuh dalam kandungan”, jelasnya. ”IQ sangat tergantung pada bobot lahir bayi. Anak kembar, rata-rata memiliki IQ 4 - 7 angka di bawah anak lahir tunggal karena umumnya bayi kembar memiliki bobot badan lebih kecil”, tambahnya.
Lebih dari 20 tahun terakhir berbagai penelitian juga mengungkapkan korelasi positif antara gizi, terutama pada masa pertumbuhan pesat, dengan perkembangan fungsi otak. Ini berlaku sejak anak masih berbentuk janin dalam rahim ibu. Pada janin terjadi pertumbuhan otak secara proliferatif (jumlah sel bertambah), artinya terjadi pembelahan sel yang sangat pesat. Kalau pada masa itu asupan gizi pada ibunya kurang, asupan gizi pada janin juga kurang. Akibatnya jumlah sel otak menurun, terutama cerebrum dan cerebellum, diikuti dengan penurunan jumlah protein, glikosida, lipid, dan enzim. Fungsi neurotransmiternya pun menjadi tidak normal.
Dengan bertambahnya usia janin atau bayi, bertambah pula bobot otak. Ukuran lingkar kepala juga bertambah. Karena itu, untuk mengetahui perkembangan otak janin dan bayi berusia kurang dari setahun dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan mengukur lingkar kepala janin.
Begitu lahir pun, faktor gizi masih tetap berpengaruh terhadap otak bayi. Jika kekurangan gizi terjadi sebelum usia 8 bulan, tidak cuma jumlah sel yang berkurang, ukuran sel juga mengecil. Saat itu sebenarnya terjadi pertumbuhan hipertropik, yakni pertambahan besar ukuran sel. Penelitian menunjukkan, bayi yang menderita kekurangan kalori protein (KKP) berat memiliki bobot otak 15 - 20% lebih ringan dibandingkan dengan bayi normal. Defisitnya bahkan bisa mencapai 40% bila KKP berlangsung sejak berwujud janin. Karena itu, anak-anak penderita KKP umumnya memiliki nilai IQ rendah. Kemampuan abstraktif, verbal, dan mengingat mereka lebih rendah daripada anak yang mendapatkan gizi baik.
Asupan zat besi (Fe) juga diduga erat kaitannya dengan kemampuan intelektual. Untuk membuktikannya, Politt melakukan penelitian terhadap 46 anak berusia 3 - 5 tahun. Hasilnya menunjukkan, anak dengan defisiensi zat besi ternyata memiliki kemampuan mengingat dan memusatkan perhatian lebih rendah. Penelitian Sulzer dkk. juga menunjukkan anak menderita anemia (kurang darah akibat defisiensi zat besi) mempunyai nilai lebih rendah dalam uji IQ dan kemampuan belajar.
Maka atas dasar hasil penelitian tadi, kita bisa mengatur makanan anak sejak janin. Ketika anak masih dalam kandungan, si ibu mesti makan untuk kebutuhan berdua dengan gizi yang baik. Perilakunya juga mesti dijaga agar tidak memberi pengaruh buruk terhadap janin. Pasalnya, perilaku ”buruk”ibu hamil, merokok misalnya, ternyata juga menjadikan IQ anak rendah.
Penelitian David L. Olds et. al. (1994) dari Departement of Pediatrics, University of Colorado di Denver, AS, menunjukkan bayi-bayi yang lahir dari ibu perokok memiliki faktor potensial ber-IQ rendah, seperti bobot lahir rendah, lingkar kepala lebih kecil, lahir prematur, dan perawatan saat di ICU lebih lama dibandingkan dengan bayi dari ibu tidak merokok selama hamil. Anak dari ibu perokok selama hamil pada usia 12 - 24 bulan memiliki nilai IQ 2,59 angka lebih rendah, pada 36 - 48 bulan memiliki nilai IQ 4,35 angka lebih rendah ketimbang IQ anak dari ibu tidak merokok saat hamil.
Menurut David, asap rokok diduga akan mengurangi pasokan oksigen yang sangat diperlukan dalam proses pertumbuhan sistem syaraf janin. Nikotin rokok akan membuat saluran utero-plasental menyempit. Akibatnya, sel-sel otak bayi akan menderita hypoxia atau kekurangan oksigen. Asap rokok juga akan memicu terjadinya proses carboxy hemoglobin, yaitu sel-sel darah yang semestinya mengikat oksigen malah mengikat CO dari asap rokok. Selain itu, asap rokok juga mengandung sekitar 2.000 - 4.000 senyawa kimia beracun yang secara langsung mengganggu dan merusak berbagai proses tumbuh kembang sel-sel dan sistem syaraf.
Merokok selama hamil juga berpengaruh pada kekurangan zat gizi yang diperlukan dalam proses tumbuh kembang sel otak. Misalnya, kebutuhan zat besi akan meningkat karena harus memenuhi keperluan pembentukan sel-sel darah yang banyak mengalami kerusakan. Hal ini akan mengurangi kemampuan dan persediaan zat gizi lainnya, seperti vit. B-12 dan C, asam folat, seng (Zn), dan asam amino. Zat-zat gizi tsb. dilaporkan sangat diperlukan dalam proses tumbuh kembang sel-sel otak janin. Jika terjadi kekurangan zat-zat gizi esensial, proses tumbuh kembang otak tidak optimal, sehingga nilai IQ pun menjadi lebih rendah.
Setelah lahir, asupan gizi bagi bayi juga harus dijaga tetap baik. Idealnya, anak mendapatkan ASI secara eksklusif sampai usia 4 - 6 bulan. Jenis makanan, selain ASI, untuk bayi dan anak balita sebaiknya dibuat dari bahan makanan pokok (nasi, roti, kentang, dll.), lauk pauk, bebuahan, air minum, dan susu sebagai sumber protein dan energi. Jangan lupa, bahan makanan harus diolah sesuai tahap perkembangan dari lumat, lembek, selanjutnya padat. Secara keseluruhan asupan makanan sehari harus mengandung 10 - 15% kalori dari protein, 20 - 35 % dari lemak, dan 40 - 60% dari karbohidrat.
Menu seimbang diberikan sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan. Sejak awal balita, jika memungkinkan, anak diberi susu sebanyak 500 ml. Namun, jika ASI cukup, susu pengganti tidak perlu diberikan hingga usia dua tahun.
Perhatian juga mesti diberikan terhadap jadwal pemberian makanan. Makan besar tiga kali (sarapan, makan siang, dan malam), makan selingan (makan kecil) dua kali yang diberikan di antara dua waktu makan besar, air minum diberikan setelah makan dan ketika anak merasa haus, serta susu diberikan dua kali, yakni pagi dan menjelang tidur malam.
Untuk mengetahui kecukupan gizi pada anak ada dua cara yang bisa digunakan. Pertama cara subjektif, yakni mengamati respon anak terhadap pemberian makanan. Makanan dinilai cukup jika anak tampak puas, tidur nyenyak, aktifitas baik, lincah, dan gembira. Anak cukup gizi biasanya tidak pucat, tidak lembek, dan tidak ada tanda-tanda gangguan kesehatan.
Cara kedua adalah dengan pemantauan pertumbuhan secara berkala. Cara ini dilakukan dengan mengukur bobot dan tinggi anak, dilengkapi dengan mengukur lingkar kepala pada anak sampai usia 3 tahun. Hasil pengukuran dibandingkan dengan data baku untuk anak sebaya. Jika ditemukan tanda-tanda kurang sehat, seperti pucat atau rambut tipis dan kemerahan, anak perlu diperiksa secara medis. Ada baiknya juga dilakukan pemeriksaan psikologis, terutama bila ada kemunduran prestasi belajar.
Tempat Tinggal dan Cerita
Selain faktor gizi dan perawatan, apa yang dilihat, didengar, dan dipelajari anak, sejak dalam kandungan sampai usia lima tahun, sangat menentukan intelegensia dasar untuk masa dewasanya kelak. Setelah usianya melewati lima tahun, secara potensial IQ-nya telah tetap. Dengan begitu, masa itulah merupakan kesempatan emas bagi kita untuk memacu tingkat kecerdasan anak.
Menurut Jean Piaget, psikolog dari Swis, semakin banyak hal baru yang dilihat dan didengar, si anak akan semakin ingin melihat dan mendengar segala sesuatu yang ada dan terjadi di lingkungannya. Karenanya disarankan agar orang tua memperkaya lingkungan tempat tinggal (kamar tidur atau kamar bermain) bayi dengan warna dan bunyi-bunyian yang merangsang. Umpamanya, gambar-gambar binatang atau bunga, musik, kicauan burung, dsb. Semuanya mesti tidak menimbulkan ketakutan dan kegaduhan pada anak.
Para pakar juga yakin lingkungan verbal bagi anak juga tak kalah pentingnya. Bahasa yang didengarkan anak bisa meningkatkan atau menghambat kemampuan dasar berpikirnya. Penelitian hal ini dilakukan psikolog Rusia. Ia membayar para ibu keluarga miskin untuk membacakan cerita dengan suara keras untuk bayi mereka masing-masing selama 15 - 20 menit setiap hari. Menjelang berusia 1,5 tahun, bayi menjalani pengukuran. Hasilnya, bayi-bayi itu memiliki kemampuan berbahasa yang lebih baik ketimbang bayi-bayi seusianya di daerah yang sama.
Penelitian lain dilakukan di sebuah sekolah perawat di New York, AS, terhadap dua kelompok anak usia tiga tahun. Masing-masing anak diperlakukan secara berbeda. Kelompok pertama diberi pelajaran berbahasa selama 15 menit setiap hari. Kelompok kedua diberi perhatian khusus juga selama 15 menit tanpa pelajaran bahasa. Setelah 4 bulan ternyata kelompok pertama mendapatkan kenaikan intelegensia rata-rata sebesar 14 angka. Sedangkan kelompok kedua kenaikan rata-ratanya cuma 2 angka.
Nah, untuk mendapatkan anak cerdas ternyata gampang. Cuma dengan memberi makanan sehat, perawatan baik, dan lingkungan psikologis yang mendukung sejak dalam kandung hingga usia lima tahun, besar kemungkinan harapan kita akan tercapai.
ANAK USIA 0-6 TAHUN JANGAN DIBEBANI BACA DAN TULIS
Anak Usia 0-6 Tahun Jangan Dibebani Baca-Tulis
Jangan latah membebani anak usia 0-6 tahun untuk belajar baca, tulis, dan hitung. Apabila hal itu dipaksakan, kemungkinan akan terjadi penurunan minat belajar saat anak-anak tersebut beranjak remaja. Sebaiknya fokus saja untuk mengoptimalkan keterampilan berbahasa lewat kegiatan bermain.Pendidikan pada jenjang PAUD bukan sekadar soal kemampuan baca, tulis, dan hitung, melainkan terkait pemenuhan kebutuhan dasar anak. Kebutuhan tersebut mencakup rangsangan pendidikan, pembinaan moral dan emosional, serta kesehatan dan gizi.
Langganan:
Postingan (Atom)